Refleksi Kritis Seniman dan Aktivis Demokrasi Isti Nugroho

Isti Nugroho (65 th) kembali menerbitkan buku kumpulan tulisan “Menyembah Bendoro Cuan.” dengan kurator sastrawan-budayawan Indra Tranggono. Sebelumnya, tahun 2024, ia menerbitkan antologi puisi esai “Negara dalam Gerimis Hujan”. Isi buku terbaru Isti kali ini cukup beragam, dari esai, kolom, cerpen sampai puisi. Semua tulisan bertema sosial, budaya dan politik. Buku berisi 17 tulisan ini mencerminkan keprihatinan Isti atas kondisi sosial-politik bangsa Indonesia yang didominasi politik cuan (uang/keuntungan). Sehingga idealisme pun tersingkir, digantikan pragmatisme.

Ditulis dengan sudut pandang budaya, Isti antara lain membahas politik uang yang merusak demokrasi dan tatanan bernegara.

“Demokrasi tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat, tapi penguasa dan kelas menengah atas yang bermodal besar. Kedaulatan rakyat berubah menjadi kedaulatan juragan. Persoalan ini tidak lepas dari budaya menyembah cuan,” ujar Isti Nugroho di Yogya (30/9).

Isti pernah menjalani hukuman selama delapan tahun karena tuduhan subversi di era Orde Baru. Tahun 1988 ia ditangkap karena aktivitas menyelenggarakan diskusi politik dan budaya, secara kritis. Tahun 1989, ia diadili dan divonis. Setelah bebas pada tahun 1994, Isti melanjutkan perjuangannya di Jakarta, di antaranya terlibat dalam gerakan Reformasi 1898, yang melengserkan Presiden Soeharto.

Selain itu, Isti juga aktif menulis puisi, lakon drama dan esai seni-budaya. Juga menyutradarai pementasan teater. Ia pernah bergabung dalam Teater Dinasti, Dapoer Seni Djogja dan lainnya.

“Seni, budaya dan politik, bagi saya merupakan jalan perjuangan yang membebaskan pemikiran dan membangun kesadaran publik atas nilai-nilai yang ideal, terutama humanisme, keadilan dan demokrasi,” ujar Isti.
Buku ini diberi pengantar oleh Denny JA, penyair, budayawan dan peneliti. Denny mengatakan, esai Isti merupakan alarm moral bahwa kita boleh hidup di zaman kapitalisme tetapi jangan sampai bangsa kita tergadai kepada berhala bernama cuan.

Baca Juga :  REKAPITULASI PERUBAHAN UNTUK KESELARASAN DAN KETERPADUAN URUSAN PEMDA DAN FUNGSI DALAM KERANGKA PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA T.A 2022

Komentar Rocky Gerung

Pengamat politik Rocky Gerung memberikan komentar atas buku Isti. Dia mengatakan, Isti sangat paham ekosistem politik negeri ini. Bahkan melampaui analisis akademis, ia menelusuri rasa batin rakyat: negeri yang dikepung kerakusan dan kepongahan. Buku ini adalah endapan pikiran dan kemarahannya.

Toto Rahardjo, tokoh pendidikan dan pendiri Komunitas Kiai Kanjeng (pimpinan Emha Ainun Nadjib/Cak Nun), mengatakan buku “Menyembah Bendoro Cuan” adalah cermin retak yang sengaja dihadapkan ke wajah kita. Isti Nugroho menulis bukan untuk menawarkan kenyamanan, melainkan kegelisahan—tentang bagaimana “uang” yang dahulu hanya alat, kini menjelma tuhan kecil yang diam-diam kita beri sesajen setiap hari.

“Buku ini menyibak ritual modern yang kita jalani tanpa sadar: bekerja, bertransaksi, berutang, dan bahkan beribadah dalam logika laba. Saya pun teringat pertanyaan kuno: “Apakah manusia memiliki harta, atau harta yang sedang memiliki manusia?” ujar Toto.

Isti tidak memberi jawaban instan, tetapi menggiring kita pada lorong refleksi—bahwa sikap dan perilaku menyembah Bendoro Cuan adalah penyakit peradaban, dan melawannya berarti merebut kembali kemerdekaan batin.

“Saya bangga pada Isti sebagai eksponen seniman dan pejuang demokrasi dari Yogyakarta, yang tetap konsisten sampai hari ini,” ujar Toto.

Sementara itu, aktivis gerakan perempuan Damairia Pakpahan mengatakan, Buku Menyembah Bendoro Cuan, pantas disambut hangat. Terutama generasi muda (milenial dan Gen Z). “Mereka bisa belajar sejarah tentang rezim-rezim penguasa yang manipulatif atas kebenaran milik rakyat; baik pada era Orde Baru maupun pasca Reformasi 1998,” ujar Damairia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *