Pemerintah Aceh yang direpresentasikan oleh Kepala Inspektorat Aceh, Zulkifli, Kepala Bappeda Aceh, Teuku Ahmad Dadek dan Sekretaris Badan Pengelola Keuangan Aceh serta Kepala Sekretariat Baitul Mal Aceh pada hari Jum’at (7/5/2021) melakukan koordinasi sekaligus entry meeting evaluasi perencanaan dan penganggaran Pemerintah Aceh dengan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh di Kantor BPKP Aceh.
Pertemuan koordinasi ini tidak saja penting tapi juga sangat strategis, dimana pertemuan tersebut membahas tentang Agenda Pengawasan Prioritas Daerah (APPD) Aceh. Pertemuan ini pun dipimpin langsung oleh Kepala BPKP Aceh, Indra Khaira Jaya yang didampingi oleh Koordinator Pengawasan JFA Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah (APD), Priyanta Nugraha dan tim evaluasi BPKP Aceh.
Kepala BPKP Perwakilan Aceh, Indra Khaira Jaya kepada AJNN, Sabtu (8/5/2021) mengatakan bahwa pertemuan tersebut merupakan tindaklanjut dari pertemuan dirinya dengan Gubernur Aceh Nova, Iriansyah pada 5 Mei 2021 yang membahas peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran Pemerintah Aceh dalam upaya meminimalisir masalah fraud dan hukum atas tatakelola keuangan dan pembangunan di Aceh.
Dalam pertemuan koordinasi di kantor BPKP Aceh tersebut, Indra Khaira Jaya menyampaikan beberpaa poin penting dalam pelaksanaan APPD Aceh.
Urgensi dan Manfaat Evaluasi Perencanaan dan Penganggaran (Sub Judul)
Keberhasilan program kegiatan mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh perencanaan yang baik dan role base.
Kegiatan evaluasi perencanaan dan penganggaran APBA/APBK di 4 Pemerintah daerah di Aceh ini merupakan bagian dari Program Pengawasan Prioritas Nasional (PPPN) yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia untuk memastikan penggaran sesuai ketentuan, tujuan strategis dan visi, misi kepala daerah serta memenuhi syarat 3 E (efesien, efektif dan ekonomis).
Evaluasi tahap perencanaan ini sangatlah penting, dimana perencanaan merupakan kunci keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan melalui program dan kegiatan yang dirumuskan dan terformulasi dalam dokumen pembangunan dan APBD setiap daerah.
Ada beberapa implikasi akibat perencanaan yang kurang baik dan tepat waktu yaitu kegiatan yang yang tidak selesai dikerjakan atau mangkrak yang berimpilikasi pada rendahnya tingkat penyerapan anggaran daerah. Hal lain sebagai indikator buruknya perencanaan yang berpotensi menimbulkan terjadinya korupsi yaitu sasaran atau penerima manfaat fiktif, tidak tepat sasaran pada yang berhak, serta jumpah yang diterima tidak sesuai seharusnya. Perencanaan yang buruk juga berimplikasi pada ketidakwajaran harga (mark-up atau mark-down).
Berdasarkan hal di atas tidak salah jika banyak ahli anggaran yang mengatakan bahwa korupsi itu sudah direncanakan pada tahap perencanaan anggaran pemerintah.
Kerugian Negara DOKA Relatif Tinggi (Sub Judul)
Audit Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) pada APBA tahun 2020. Indra dan tim BPKP menerangkan bahwa banyak persoalan tindak pidana korupsi yang bersumber dari DOKA, maka audit ini diperlukan untuk mengidentifikasi efektifitas dan efisiensi pencapaian kinerja dari program/kegiatan yang bersumber dari DOKA.
Audit DOKA ini dilakukan sejak tahap perencanaan, hal ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan alokasi anggaran dan perencanaan program/kegiatan, serta keselarasan program nasional dengan program provinsi dan program daerah yang bersumber dari DOKA.
Pada tahap pelaksanaan, audit DOKA dimaksudkan guna mengecek apakah sudah efektif dan efisien, tepat waktu, tepat jumlah serta tepat sasaran. Sedangkan pada bagian pertanggungjawaban, audit dimaksudkan untuk melihat ada tidaknya tindak pidana korupsi, seberapa tingginya korupsi yang terjadi, serta seberapa besar daya ungkit DOKA terhadap pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh.
Dari kasus-kasus yang menjadi perhatian publik yang dilansir olah Ajnn, minimal ada 6 kasus yang bersumber dari DOKA yaitu kegiatan pelatihan santri tahun 2019 sebesar Rp9 miliar lebih, berupa belanja makan dan minum pada Dinas Syari’at Islam Gayo Lues dengan nilai kerugian negara sedikitnya Rp3,7 miliar atau sebesar 41 persen. Kemudian kegiatan pembangunan gedung mobil barang pada tahun 2017 dengan pagu Rp1,8 miliar lebih, dimana dari perhitungan kerugian negara oleh BPKP disimpulkan
kerugiannya sama dengan nilai kontrak (total Loss) atau 100 persen. Kasus yang sama juga terjadi pada pembangunan pengaman pantai cunda-Meuraksa Lhokseumawe tahun 2020 sebesar Rp4,9 miliar, dimana potensi kerugian negara sebesar nilai kontak yaitu sebesar Rp4,3 miliar (termasuk biaya konsultan pengawas) atau kerugiannya 100 persen.
Selanjutnya kegiatan bantuan biaya pendidikan oleh pemerintah Aceh tahun 2017 sebesar Rp22,3 miliar lebih, dimana BPKP menemukan paling sedikit kerugian negaranya sebesar Rp9,5 miliar atau sebesar 42,6 persen. Lalu peningkatan jalan Muara Situlen-Gelombang di Aceh Tenggata pada tahun 2018 dengan anggara sebesar Rp11,6 miliar, dari hasil audit investigasi BPKP ditemukan kerugian negara sebesar lebih Rp4 miliar atau 34,5 persen lebih. Terkahir yaitu pengadaan sapi pada Dinas peternakan Aceh tahun 2017 sebesar Rp3,4 miliar dengan kerugian negara dari sapi yg kurus dan mati saja sebesar Rp415 juta atau 12,2 persen, sedangkan fraud atas pengadaannya sedang dalam proses audit BPKP bekerjasama dengan polda Aceh
Dari perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPKP Aceh terhafap 6 kegiatan yang bersumber dari DOKA, dua kasus kerugiannya 100 persen, dua kasus kerugiannya 40 persen, satu kasus 34,5 persen, serta satu kasus 12.2 persen.
Dengan sampel di atas menunjukkan bahwa potensi kerugian negara hanya dari kegiatan yang bersumber dari DOKA sangatlah besar.
Pengawasan Proyek MYC Sebagai Rule Model (Sub Judul)
Pengawasan Multi Years Contract ini begitu penting dilakukan selain karena anggarannya yang cukup besar mencapai Rp2,1 triliun, merupakan kebutuhan publik, serta merupakan proyek APBA yang mendapat perhatian publik begitu luas, bahkan secara khusus DPRA menolaknya dengan melakukan paripurna khusus guna membatalkan 15 paket yang masuk dalam MYC ini.
Paket MYC ini terdiri dari 14 proyek jalan yang menghubungkan daerah terisolir dengan pusat-pusat ekonomi,bisnis dan sosial, serta 1 proyek pembangunan bendung irigasi Sigulai di Pulau Simeulue guna meningkatkan ketahanan pangan dan melepaskan ketergantungan akan beras yang dipasok dari luar Simeulue.
Pengawasan MYC ini dimulai sejak Juni 2020 dengan penandatanganan KAK Probity Audit. Hal ini telah memberikan kontribusi yang nyata dalam memberikan masukan kebijakan maupun koreksi harga yang siginifikan sehinga tercipta efisiensi dan efektifitas.
Probity audit merupakan kegiatan penilaian secara independen untuk memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa telah dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan prinsip integritas (integrity), kebenaran (uprightness), dan kejujuran (honesty) sesuai dengan ketentuan perundang.
Probity audit ini dilakukan sejak perencanaan pengadaan, persiapan pengadaan, pemilihan pengadaan, tahap pelaksanaan 1, serta tahap Mutual check awal (MC-0).
Dari Probity audit pada tahap persiapan untuk 10 paket MYC, BPKP Aceh telah melakukan koreksi HPS dengan nilai efisiensi sebesar Rp147 miliar. Sedangkan saat Probity Audit MC-0, BPKP Aceh melakukan koreksi dengan nilai efisiensi mencapai lebih dari Rp30an miliar lebih.
MC-0 merupakan kegiatan penghitungan kembali volume item pekerjaan dan disesuaikan antara gambar rencana dengan kondisi lapangan. Sehingga mendapatkan volume actual sesuai dengan kondisi real pekerjaan. Hasil daripada perhitungan tersebut, baik ada kelebihan volume atau kekurangan volume akan dituangkan dalam sebuah laporan kerja yang dinamakan laporan Mutual Check Awal (MC-0).
Setidaknya sampai tahap ini koreksi untuk penghematan anggaran Multi-Years Contract (MYC) mencapai Rp177 Milyar lebih ditahap perencanaan dan ditahap pelaksanaan (MC-0) mencapai 30an milyar. Probity Audit ini akan terus berlangsung hingga memberikan keyakinan yang memadai bahwa proyek MYC ini berlangsung sesuai ketentuan, dilaksanakan secara efisien, efektif dan tepat waktu baik kuantitas maupun kualitas.
Minimal ada 8 hal yang diharapkan dari pengawasan MYC ini yaitu memastikan ketepatan perencanaan proyek strategis daerah (PSD), memastikan kesesuaian pemanfaatan hasil PSD dengan tujuan pembangunan, memastikan ketepatan dan ketaatan dalam pemilihan PBJ, mencegah potensi inefisiensi atas pekerjaan yang tidak sesuai kondisi lapangan (perbedaan antara DED/kontrak dengan lapangan), meningkatkan akuntabilitas keuangan dan kinerja PSD (pembayaran hasil pekerjaan sesuai dengan capaian kinerja fisik, terhindar dari potensi kerugian keuangan negara atas PSD, mengindentifikasi potensi hambatan dan permasalahan pelaksanaan PSD, serta memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan dan implementasinya.
Oleh karenanya sinergi dan kolaborasi penugasan kepada BPKP dalam melakukan Probity Audit dapat dijadikan Rule Model pengawasan perencanaan dan penganggaran oleh Pemerintah Aceh.
Probity Audit ini efektif memberikan nilai tambah bagi perbaikan tata kelola keuangan dan pembangunan di Aceh serta dapat memenuhi harapan publik dalam mensejahterakan rakyat Aceh.**